Lembaga da’wah adalah sebuah keunikan. Dia
melanggar hukum-hukum dasar klasik keorganisasian. Ketika hierarkhi
Mashlow mengatakan bahwa manusia mengejar pemenuhan kebutuhan dunia
dalam motivasi kerjanya, maka para kader lembaga da’wah justru dituntut
mengorbankan dunia dan menjadikan sesuatu yang tidak nampak dihadapannya
sebagai satu-satunya motivasi. Maka ketika yang lain mengharap upah dan
balas jasa, kader lembaga da’wah hanya diperkenankan memakai
terminologi ikhlas. Dan di saat orang-orang bekerja sekuat tenaga demi
memajukan organisasinya, lembaga da’wah mengejar cita-cita yang lebih
besar.
Maka
lembaga da’wah dimaknai sebagai alat, wasilah, perangkat untuk
menegakkan kalimat Allah di muka bumi, dimulai dari lingkungan yang
sangat kecil; kampus. Dia hanyalah sebuah pedang yang digunakan untuk
membunuh musuh di medan perang. Seandainya kita bisa membunuhnya tanpa
pedang, hal itu tidak masalah. Sehingga tidak ada gunanya kita
menghiasnya dengan berbagai macam keindahan, tapi tumpul ketika
digunakan. Yang kita kejar adalah kejayaan kaum muslimin, bukan
bersinarnya sebuah lembaga.
Lembaga
da’wah kampus memiliki tanggung jawab menyiapkan masyarakat kampus yang
dinaunginya menuju cita-cita da’wah. Memurnikan agama, membersihkannya
dari syirik, penyembahan terhadap thaghut, serta perilaku dan pemikiran
yang bertentangan dengan akidah islam. Menyadarkan mahasiswa dari bid’ah
dan kemaksiatan, meluruskan tindakannya dari perkara-perkara yang
dilarang syari’at. Memperbaiki akhlak, menyebarkan nilai-nilai kebaikan
di setiap penjuru kampus, di kelas, laboratorium, kantin, tempat parkir,
perpustakaan, ruang dosen, kantor tata-usaha, sampai setiap jalan yang
dilalu-lalangi. Menyadarkan bahwa umat islam ditakdirkan untuk memimpin
peradaban, agar mereka siap menjemput kemenangan yang telah dijanjikan.
Kita
ingin melebarkan sayap agar memungkinkan menjangkau setiap orang,
melakukan ekspansi kepada mahasiswa di luar lembaga da’wah. Namun sebuah
keniscayaan, bahwa lembaga da’wah tidak berisi orang-orang yang
sempurna. Tidak juga dipenuhi oleh kumpulan malaikat yang disucikan atau
oleh makhluk yang tanpa cela. Bukan pula kelompok yang setara dengan
rasul yang ma’sum.
|
Barangkali orang di luar sana, lebih dekat kepada Allah, lebih memaknai kata da’wah dengan makna yang benar
|
Ini
sebuah kewajaran di lapangan, karena lembaga da’wah selain mengambil
kata “da’wah” juga mengambil kata “lembaga”. Artinya dia pun dapat
dimasuki oleh orang-orang yang masih ammah, hanya saja hati mereka
terdorong untuk menjadi lebih baik, mencoba sedikit mencicipi cita rasa
da’wah meskipun belum paham benar apa itu apalagi memiliki komitmen
terhadapnya. Lembaga da’wah kemudian menjadi sedikit lebih “plural”, perbedaan dengan lingkungannya bukan antara hitam dan putih.
Maka
pedang itu tidak hanya harus bisa menebas keluar, tapi dia juga harus
bisa menebas ke dalam. Lembaga da’wah tidak hanya memiliki tanggung
jawab berda’wah keluar, tapi juga berda’wah ke dalam. Dia memperbaiki
lingkungannya dan memperbaiki dirinya sendiri. Karena orang-orang yang
kita sebut sebagai kader lembaga da’wah bisa jadi tidak jauh berbeda
keadaannya dengan mad’u kita di luar, hanya saja yang satu sudah masuk
ke dalam rumah dan yang satu masih di luar. Inilah konsep dua mata
pedang.
Jika
memang kita ingin mengambil langkah untuk melakukan perbaikan, maka
kami katakan : yang harus diperbaiki itu ada yang sedang berdiri di luar
dan ada yang sedang berdiri di dalam. Jika memang kita hendak
membersihkan, maka kami katakan : pastikan antum memiliki sabun yang
bagus, karena kotoran itu ada di baju dan di tangan antum.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar